Menu Close
Film horor dapat digunakan sebagai medium untuk menyuarakan isu-isu lingkungan. Tom Tom/shutterstock.

‘Ecohorror’, alternatif untuk film horor religi di Indonesia

Sutradara Indonesia, Gina S. Noer melayangkan kritik terhadap tren film horor yang sedang berkembang di Indonesia. Ia menyayangkan para sineas yang cenderung mencari jalan cepat untuk menciptakan efek seram dengan memanfaatkan ritual ibadah, alih-alih mengutamakan variasi dan kedalaman cerita. Banyak kalangan juga mempermasalahkan bagaimana agama direduksi sedemikian rupa dan hanya menjadi alat untuk membuat adegan-adegan seram.

Kiblat (2024) menjadi salah satu film yang banyak disorot. Mulai dari poster yang dinilai menistakan agama karena menampilkan sosok seperti iblis sedang salat sampai penggunaan judul ‘kiblat’ yang dianggap menjelek-jelekkan ka’bah selaku tempat suci. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan meminta Agung Saputra, sutradara Kiblat, beserta timnya untuk meminta maaf kepada publik.

Eksploitasi agama di film horor bukanlah hal baru. Sejak rezim Orde Baru, ketatnya sensor pemerintah terhadap film demi menjaga stabilitas rezim, membuat mayoritas pembuat film memilih jalan yang relatif lebih aman. Caranya dengan memproduksi film horor yang mengandung unsur adegan ranjang dan kesadisan, sambil mempromosikan moralitas bahwa kebaikan akan selalu mengalahkan kejahatan dan bertakwa kepada Tuhan adalah solusi keselamatan.

Setelah reformasi, mulai muncul film horor yang berani ‘menghilangkan’ kesakralan agama. Sosok kiai atau ustaz tidak lagi menjadi solusi mutlak dari serangan roh jahat. Namun, terlepas dari posisi agama dalam narasi film, ia tetap menjadi menu wajib bagi film horor.

Ini menunjukkan kurangnya eksplorasi sineas terhadap isu religiusitas di masyarakat. Isi film horor hanyalah pengulangan adegan-adegan horor dalam suatu praktik ibadah, misal orang salat yang dimakmumi hantu atau hantu yang bisa memutus doa seseorang. Seolah-olah, tidak ada formula atau ide cerita lain untuk film horor di Indonesia.

Padahal, film horor memiliki potensi sebagai medium yang bisa membicarakan beragam isu penting, termasuk isu lingkungan. Terlebih, masyarakat kita tidak kekurangan cerita-cerita mengenai alam yang bisa mendatangkan celaka kepada siapapun yang mengusiknya.

Apa itu genre ‘ecohorror’?

Di industri perfilman luar negeri, isu lingkungan dan cerita horor sudah sering dipertemukan dalam genre ecohorror. Genre ini mengacu pada cerita-cerita mengenai alam yang membalas perbuatan eksploitatif manusia.

Dalam genre ini, alam direpresentasikan sebagai kekuatan-kekuatan mengerikan yang mengancam manusia gara-gara aktivitas eksploitatif. Salah satu contoh yang paling sering dibahas adalah Godzilla (1954)film tentang monster yang bangkit akibat ledakan bom nuklir.

Dalam perkembangannya, ecohorror semakin mempunyai banyak varian cerita yang mengeksplorasi bentuk-bentuk hubungan antara manusia, alam, dan terutama mahluk hidup lainnya.

Deep Blue Sea (1999), misalnya, menggambarkan ilmuwan yang melakukan eksperimen untuk meningkatkan kapasitas otak hiu dalam upaya menemukan obat alzeimer. Namun, situasi berubah horor ketika hiu yang semakin cerdas memburu para ilmuwan dan staf di fasilitas penelitian mereka.

‘Ecohorror’ dan upaya memahami alam di Indonesia

Jumlah film bergenre ecohorror di Indonesia masih sedikit. Genre ini tak banyak dibahas baik di ranah populer maupun akademis. Sejauh ini, saya hanya menemukan penelitian tahun 2023 yang secara spesifik membicarakan ecohorror, khususnya dalam konteks perfilman di era Orde Baru.

Menurut riset tersebut, film Ratu Buaya Putih (1988) dan Titisan Dewi Ular (1990) mempunyai formula yang serupa yaitu kemarahan alam atas perbuatan manusia.

Dalam Ratu Buaya Putih, perilaku eksploitatif manusia ditunjukkan lewat pembantaian buaya oleh tokoh bernama Sumarna dan Jefri demi kepentingan bisnis, sedangkan dalam Titisan Dewi Ular, persoalannya adalah spesies ular yang eksistensinya terancam oleh tokoh bernama Dayan demi memperoleh kesaktian. Kedua film tersebut lantas menghadirkan pembalasan alam melalui representasi roh-roh dengan wujud siluman buaya dan siluman ular.

Pada konteks film Indonesia kontemporer, genre ecohorror juga mulai muncul. Sayangnya, isinya masih didominasi narasi yang menempatkan alam sebagai entitas berbahaya.

Seri Kisah Tanah Jawa: Merapi (2019), misalnya, berbicara mengenai demit gunung Merapi yang bisa menculik manusia untuk dijadikan pengantin. Ceritanya mengadopsi kisah yang berkembang di masyarakat mengenai gunung sebagai tempat angker, kerajaan makhluk halus, kemudian pendaki yang hilang dan diculik oleh bangsa jin untuk dijadikan sebagai pengantin.

Salah satu daya pikat film horor adalah memberikan sesnsasi ngeri yang berbeda dari genre lain. Nana Margono/shutterstock.

Namun, karena terlalu fokus pada penciptaan teror, seri ini berhenti pada penggambaran gunung yang misterius dan berbahaya. Sementara manusia sekadar diposisikan menjadi kelompok yang rentan terhadap berbagai kekuatan jahat di sana. Narasi ini berpotensi menciptakan ecophobia (ketakutan irasional terhadap alam) alih-alih tergerak untuk memahami alam secara lebih mendalam.

Memang, risiko membuat audiens menjadi ecophobic tetap ada pada setiap film ecohorror. Sebab, ecohorror adalah genre yang kerap menghadirkan kengerian kepada penonton, entah melalui monster atau perubahan iklim yang membawa bencana.

Namun, kita tetap butuh film ecohorror yang memberi penekanan kuat terhadap kerusakan alam akibat ulah manusia agar muncul rasa bersalah atau, paling tidak, kegelisahan di antara penonton sehingga memantik perbincangan terkait isu-isu lingkungan.

Potensi genre ‘ecohorror’

Meski jumlah film bergenre ecohorror di Indonesia masih terbatas, Indonesia memiliki kekayaan cerita yang secara dialogis mewacanakan hubungan antara alam, entitas makhluk gaib, dan manusia.

Di YouTube, misalnya, acara-acara talkshow berbasis paranormal experience telah banyak memuat cerita bagaimana para pendaki gunung memperoleh gangguan jin gara-gara mengotori lingkungan, seperti mengotori tempat-tempat sakral atau membuang pembalut sembarangan. Biasanya mereka baru bisa lepas dari gangguan tersebut setelah meminta maaf kepada si jin penjaga gunung.

Liputan Project Multatuli juga menegaskan alam sebagai entitas yang aktif. Pohon yang seolah menolak ditebang, batu yang tidak bisa dihancurkan, berikut kisah-kisah ganjil yang menyertainya, adalah fenomena-fenomena yang menunjukkan bahwa alam memiliki cara tersendiri untuk melawan gencarnya pembangunan infrastruktur oleh negara.

Hal ini menegaskan potensi ecohorror untuk dikembangkan di Indonesia sebagai alternatif dari tayangan horor yang terjebak dalam narasi agama. Riset tahun 2022 sudah membuktikan bahwa film horor merupakan salah satu genre terfavorit masyarakat kita. Sehingga, ecohorror sebagai sub-genre film horor punya peluang untuk diminati sebagaimana film-film hantu lainnya.

Kontekstualisasi ‘ecohorror’

Industri perfilman luar negeri sudah banyak mengeksplorasi variasi tema dalam genre ecohorror. Godzilla merupakan salah satu monster yang filmnya paling sering direproduksi dan kerap menjadi perbincangan terkait isu-isu lingkungan. Jika film Godzilla pertama (1954) menyuguhkan pesan mengenai bom nuklir yang membawa petaka, Godzilla versi baru menyajikan tema perubahan iklim dan kepunahan massal.

Meski demikian, kita tidak bisa serta merta menggunakan formula film ecohorror dari luar.

Sebagian besar masyarakat Indonesia barangkali tidak bisa terhubung dengan kisah monster yang bangkit gara-gara ledakan nuklir atau monster yang tercipta akibat eksperimen sains tertentu. Namun, mereka jelas punya kedekatan terhadap kisah para pendaki gunung yang tersesat ke desa gaib karena membuang pembalut sembarangan. Jutaan views di kanal YouTube RJL 5 saat mengundang narasumber-narasumber yang mengklaim punya pengalaman soal penunggu gunung, misalnya, menguatkan hal ini.

Dengan minat yang tinggi terhadap isu-isu pengalaman gaib, film-film ecohorror bisa menjadi salah satu medium untuk mengarusutamakan isu lingkungan di tengah masyarakat. Meski film horor sendiri bersifat dinamis, fleksibel, dan terbuka untuk berbagai interpretasi, mengeksplorasi ecohorror bisa menjadi langkah awal untuk memantik dialog terkait isu lingkungan, di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur yang kerap abai terhadap kelestarian alam.

Minimal, film ecohorror bisa mengajak kita untuk berpikir ulang: masihkah kita berupaya memahami alam dan bahasa-bahasanya dengan benar?

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 184,500 academics and researchers from 4,974 institutions.

Register now